home for christmas

Sulung mudik menjelang natal. Early christmas present for me.. πŸ™‚

Setelah beberapa hari tertunda karena memang menunda dengan banyak alasan, pagi itu bungsu dan aku punya agenda memasang pohon natal –our little, simple, but the result turned out to be sooo nice with the gold theme the boys decided. Yes, this is much much better than no Christmas tree at all last year.Β  Ketika kami tengah memasang pohon natal ditemani alunan lagu-lagu natal, sulung yang baru saja bangun memberikan oleh-olehnya, setumpuk buku yang telah selesai ia baca. Another early christmas present for me πŸ˜‰ “Ini, ini, ini, bagus banget.. Ini bacanya setelah ini..’ begitu rekomendasinya. “Tapi maaf udah aku coret-coret..” jelasnya ketika aku mulai membuka-buka buku tersebut. Ah.. ya nda masalah Gi, justru bikin tambah menarik. Buku selalu menarik (untukku). Terlebih bila aku tahu benar orang yang merekomendasikannya, ga sekadar tahu benar, tapi juga ditambah rasa penasaran dengan perjalanan mental dan spiritualnya.

Segera setelah pohon ‘keren’ kami selesai, kusiapkan secangkir kopi lalu bergelung di sofa sebelah pohon natal untuk mulai membaca buku pertama rekomendasinya, Daring Greatly by Brene Brown. Terlihat coretan penanda yang ia maksud mulai dari introduction hingga seluruh buku. Aku mulai membaca dan kerap kutemui penanda pada bagian yang juga menarik bagiku. Spot on. Pada salah satu paragraf pembuka penulis bercerita tentang berbagai tahap dalam hidupnya yang semuanya mengacu pada satu premis: keep everyone at a safe distance and always have an exit strategy. Waat.. kok aku banget yah.. eh.. berarti bukan aku doang yaa.. Segera saja aku terpikat dan merasa terkoneksi dengan sang penulis. Berbasis hasil riset dan cerita kehidupan yang ia kumpulkan bertahun-tahun, ia mengajak aku memahami begitu banyak moment dalam hidup yang kerap membuat orang takut, ciut, terhenti, menolak, menunda, gusar, kesal, sedih, malu, bertanya-tanya.. tak ada yang salah dengan itu, tak ada yang salah dengan diri kita. manusiawi. jawabnya pun sangat manusiawi. vulnerability – diterjemahkan sebagai ‘kerentanan’ oleh beberapa kamus online. Menghadapi dan menerima vulnerability, adalah mengakui kelemahan diri, yang kerap kita tolak dan dorong jauh. Vulnerable buat aku adalah ruang-ruang dengan terlalu banyak orang, berbicara di depan orang banyak, rasa gemas ketika menghadapi control freak, drama queen, judgement, negativism, rasa tidak berdaya ketika menghadapi situasi yang memang kompleks ataupun ‘dibuat’ kompleks, situasi tidak tahu harus berbuat apa, merasa dituntut atau diharapkan terlalu banyak, rasa takut karena ketidaktahuan, bahkan sampai secara fisik; melihat clutter atau tumpukan barang tak terpakai saja membuat aku merasa vulnerable. Butuh waktu lama untuk akhirnya bisa menyelesaikan buku itu. Sampai beberapa kali Gio tanya, “Udah selesei mom?” dan hanya bisa kujawab dengan cengiran. Bahasanya sebenarnya enak untuk dibaca. Beberapa istilah memang tidak biasa digunakan. Dalihnya bisa banyak, tapi intinya, membaca dan menjadi tahu tentang apa yang sedang aku hadapi itu sendiri proses vulnerable untuk aku. Baru pada tahap tahu dan mengidentifikasi

Belum habis berpikir tentang kerentanan diri dan hal nyata yang bisa diupayakan untuk berani menghadapi, pikirku melompat pada si sulung. Hal yang samakah yang ia hadapi saat ini, di usianya yang masih di bilangan belasan ini?? Sempat bertanya apa saja yang ia dapat dari buku tersebut. Lagi-lagi aku diajaknya untuk melihat dari sudut pandang lain. Bahwa ia tetap merasakan vulnerability yang ia miliki, memahami bukan lantas bisa langsung mengatasi. Tapi ia merasa lebih tenang karena jadi paham bahwa semua orang mengalami hal yang sama. Hanya ‘topeng’ dan ‘senjata’-nya yang berbeda-beda.. Thank you Gi.. πŸ™‚

 

 

Tinggalkan komentar